Nur
Izzah Millati
Selalu saja pertanyaan tentang cita-cita itu
mengusik kesunyianku. Sederhana bukan, setiap orang bertanya tentang ingin jadi
apa dirimu. Bukankah orang hidup untuk yang akan datang. Dalam hal menjawab
itulah, selalu kepala dan tubuh sibuk
dengan aneka rutinitas. Kadang gagal, tetapi sering harus memaksa agar tak diam.
Hingga setitik cahaya bersinar. Walau setahuku , ada sejuta hasrat yang akan ditawarkan kala pertanyaan
itu disodorkan.
Aku
bukan orang hebat yang menjawab sebuah pertanyaan dengan pernyataan yang tak
pernah terlintas dalam benak yang lainnya. Ingat dulu sewaktu kecil, dengan
semena-mena kuumumkan pada setiap yang bertanya, aku ingin menjadi Polwan. Di
kelas Menengah pertama, saat seorang guru bertanya hal serupa, kusebut semauku,
tanpa pikir bisa atau tidak mencapainya “Ingin jadi dokter.” Ketika lulus
sekolah menengah keatas, aku mulai sadar jawabanku itu tak berdasar. Dan
pertanyaan serupa selalu berulang, “Apa cita-citamu?.”
Toh hingga sekarang hal itu masih tersembunyi
entah dimana. Yang sudah tak kucapai. Bahkan cita-cita itu masih menggantung
membentuk imaji sendiri. Imaji yang datang dari cerita orang-orang hebat.
Dirak-rak toko buku yang paling bergengsi. Dilayar kaca yang sejak kecil
menghantui. Sebuah ruang kosong masih kutemui, saat hadir tanya menjelang. Sering
kucoba membunuh kalimat itu. Tapi semakin
lama, semakin menyata syetan dalam kitab-kitab suci.
Pagi ini aku di ruang sama. Banjir tinta
sewarna. Hitam yang sering membuat mulutku biru kelu. Meski cuma sepasang mata dengan bulat hitam kecil dan bulat coklat lebar, lalu
keputih-putihan menyebar. Lamat-lamat
aku memperhatikannya. Menatapnya. Sinarnya jauh lebih banyak menyinarkan
cahaya. Berbagai warna memancar dari sepasang hitam kelam itu. Menyenangkan dan
membahagiakan yang Banyak . Sebuah mata
yang tak kumiliki. Aku menatapnya, tetapi mataku lunglai ke tanah. Lalu sejenis
keyakinan yang masih kupegang erat mengingatkanku, menghentikan apa saja yang
berputar. Kurapal mantra-mantra tak bertuan. Hanya supaya tidak membelalak atau
membanjiri milik sendiri.
Mata yang sama hitam legam. Bahkan ketika
tubuhnya tak ada, mata itu terus menemaniku. Kadang-kadang menentramkan, tapi Sumpah!
lebih sering menakutkan. Menjadi hantu yang tiba-tiba datang. Kadang-kadang aku
pura-pura merasa kalau mata itu menghilang. Aku melangkah dengan setitik mata
lain. Kira-kira 180 derajat dengan cara dia melihat.
Suatu
hari dengan segala perhitungan. Kalau
mata itu tak akan dapat melihatku, jika mata itu tak akan mungkin bisa
menyelinap di lubang ini. Ia tak mungkin dapat tahu lubang sekecil ini. Kumasukkan tubuhku dalam lubang paling kecil
dan paling hitam. Di kota ini, hanya
sejumput tubuh yang mau meleburkan tubuhnya ke dalam. Aku yakin, dengan
kebenaran tanpa cela, mata itu tak mungkin dapat melihat. Dalam penuh keyakinan itu, sebelum masuk ke
lubang itu, kusimpan mata-mata yang masih menggantung dalam tubuhku.
Kutempatkan ia di mall-mall agar ia tak
kesepian atau lupa tugas mengawasiku.
Bagai seorang bayi yang baru dilahirkan, aku
menangis sejadi-jadinya dalam lubang itu. Kuhirup air susu siapapun yang
disodorkan ke mulutku. Kuayunkan tubuhku sejadi-jadinya, hingga kepalaku pusing
dan tubuhku terkulai.
“Apa yang kau cita-citakan?”
Aku hanya diam. Tetapi mulutnya semakin lebar
menganga.
“ Jawablah, apa kau tak ingin sesuatu?”
“ Untuk yang akan datang? Untuk mengantisipasi
segala kesedihan? Untuk memastikan terangnya cahaya tubuhmu? Agar ketika kau
mati nisanmu dikunjungi banyak orang. Agar ketika seorang pendeta mengenangmu,
ia tidak harus berbohong pada jemaatnya. Kau tahu itu kan, sebuah cita-cita
yang akan membuatmu selalu hidup. Agar hidupmu tidak berhenti hanya pada satu
titik. Supaya semua mata memandangmu dengan mata penuh kekaguman.
Oh…tidak…tidak perlu, yang penting hanya satu, hanya sebuah pertanyaan satu
saja, agar kau tak sendirian.”
Kutatap matanya dalam-dalam. Kubelai rambutnya
yang hitam kelam. Kuelus-elus pipinya yang empuk. Kukulum bibirnya seperti
seorang kekasih yang lama tak bersua. Kujilati hidungnya yang tak pernah
kupunya. Satu persatu kusesap keringat diwajahnya. Lalu pelan-pelan
kutempelkan mulutku ketelinganya,
“Aku ingin mencongkel sepasang matamu.”