Lahirnya “Ketionghoaan”
di Taman Mini Indonesia Indah
Kali pertama berkunjung ke Taman
mini Indonesia Indah, ada rasa “hampa”
dalam diri saya. Luasnya bangunan itu jauh dari identitas yang saya bayangkan
maupun inginkan. Cairnya identitas tengah di kotak-kotakkan. Dipangkas menjadi
serpihan-serpihan yang seolah-olah bertujuan menyatukan dengan iklan
“menghargai perbedaan”.
Jika saya cermati,
reduksionismelah yang menjadi proyek TMII. Keberagaman itu disunat hanya pada beberapa agama, suku serta
pengetahuan yang dicap sah oleh negara. Buktinya, tidak ada bangunan ibadah nenek moyang kita yang terukir di sana. Tidak ada Kahuripan, Samin, Baduwi, Kejawen,
serta sejuta pengetahuan, kepercayaan nenek moyang kita di sana. Yang ada adalah agama-agama,
suku-suku, pengetahuan-pengetahuan yang dibakukan orde baru serta mungkin masih
diamini aparatur negara hingga sekarang.
Satu bukti adanya keanekaragaman bentukan orde baru ini dapat
kita baca dari baru dibangunnya Taman budaya Tionghoa Indonesia. Taman budaya
ini baru diresmikan 8 November 2006. Hal ini tak terlepas dari baru diakuinya eksistensi kebudayaan keturunan
China di era Gus Dur. Jadi, pembekuan identitas ala rezimlah yang
dijadikan ukuran eksis atau tiada di
TMII. Dari membedah dilahirkannya Tionghoa TMII inilah saya mengerti
tentang manipulasi identitas Tionghoa ala orde baru.
Memasuki gerbang Taman Budaya
Tionghoa Indonesia, berdiri tegak tiang-tiang kokoh
ala China. Konon, beton-beton itu diimpor langsung
dari Xiamen, salah satu kota di negeri
tirai bambu. Di tembok gerbang tertera sebuah
prasasti yang bertuliskan peresmian taman budaya oleh Soeharto.
Di halaman memasuki gerbang, terletak tepat di tengah halaman terpacak tiang bendera merah putih dengan bendera merah putih
di puncaknya.
Di belakang halaman dalam
gerbang, yang ditandai dengan tangga menurun, berdiri rapi nan indah prasasti Sampek
Eng Tai,
patung Dewi Kwan Im, monumen Sun
Go kong serta beberapa patung batu dari negeri China yang saya lupa namanya.
Paling belakang dari prasasti-prasasti itu terdapat patung Laksamana Cheng Ho.
Seorang laksamana dari China yang dipercayai sebagai penyebar agama islam di nusantara. Dengan jubah
kebesaran serta tangan yang menunjuk, seperti mengarahkan pasukan, patung Cheng
Ho menghadap ke sebuah sungai yang berada di belakang satu atau dua kaki dari monumen
Kera Sakti Sun Go kong. Sungai itu juga berfungsi untuk memisahkan prasasti Cheng
Ho yang menandai kedatangan orang China
di Indonesia dengan prasasti-prasasti lainnya.
Secara sintagmatik,
prasasti-prasasti itu dikelompokkan berdasarkan konsep geografis. Mitos-mitos
yang berasal dari negeri China ditempatkan
sebelum patung laksamana Cheng Ho. Berbagai tanda-tanda kebajikan itu mengelompok membentuk konsepsi geografis China. Sementara sekelompok lukisan bergambar berbagai kegiatan yang pernah dilakukan laksamana
Cheng Ho di Indonesia serta gambar tokoh-tokoh indonesia seperti Soe Hoek Gie , yang diletakkan tepat di belakang patung laksamana Cheng Ho, membentuk konsepsi geografis indonesia.
Laksamana Cheng ho yang datang
dari China adalah jembatan antara kebudayaan China dan Tionghoa. Sehingga ada
keterpisahan nenek moyang kebudayaan antara orang-orang Tionghoa atau keturunan
China Indonesia dengan orang Indonesia yang “asli” berdarah indonesia.
Secara paradigmatik, penataan prasasti-prasasti taman tengah hingga ke patung laksamana Cheng
Ho, bisa dimaknai sebagai adanya sifat temurun
pada kebudayaan. Ada bibit asli China
yang membentuk identitas
masyarakat Tionghoa Indonesia . Penurunan ini seperti penurunan secara
biologis darah yang mengalir dari kakek pada cucunya. Seakan-akan tidak ada campur tangan budaya lain yang membauri kebudayaan Tionghoa
indonesia. Seolah-olah, patung-patung, bangunan-bangunan itu mengatakan bahwa bentuk kebudayaan Tionghoa di
Indonesia murni berasal dari satu negeri, yaitu China, yang disana, yang bukan
indonesia, Malaysia, Amerika, Afrika dan lain sebagainya.
Meski begitu ada tanda-tanda lain
yang meringkus mitos-mitos itu atau yang
dapat saya baca sebagai sebentuk kuasa yang memproduksi mitos-mitos itu. Kita
dapat membaca kuasa itu dari tanda bertuliskan nama Soeharto serta bendara Indonesia
di sana. Maka,jelaslah bahwa mitos-mitos
itu adalah produk identitas Tionghoa ala
orde baru. Mitos-mitos yang diciptakan penguasa otoriter. Sementara
Bendera saya maknai sebagai alat penguasa
untuk memberi label formal, legal, sah. Imaji macam apa yang dikehendaki
sang penguasa, yang sah, yang formal, yang legal pada pembentukan Ketionghoaan
selanjutnya dapat pula kita baca dengan otak-atik gatuk berikut ini.
Jika kita membandingkan TBTI
dengan bangunan-bangunan suku lain seperti suku jawa, padang, manado dan
lain-lain, terbaca kegagahan serta kemegahan taman ini. Kemegahan ini tampak dari besarnya
bangunan serta luasnya tanah yang jauh melebihi luasnya ruang suku lain. Konon
akan dibangun seluas 4,5 hektar. Hampir menyamai seluruh luas suku-suku lain. Hal
ini seragam dengan mitos kechinaan ala orde baru. Yaitu mitos bahwa orang china
itu adalah orang-oarng yang berlimpah
kekayaannya yang disimbolkan dengan megah dan luas bangunan ini.
Penamaan yang berbedapun menunjukkan kesadaran
‘pembedaan’ yang sengaja dihadirkan. Jika suku-suku lain diberi nama anjungan,
maka etnis tionghoa diberi nama Taman Budaya. Ada jarak yang sengaja dibangun antara etnis
tionghoa dengan etnis-etnis lainnya di TMII. Penegasan bahwa orang-orang China
ini memiliki nenek moyang dari negeri China sana, bukan keturunan China yang
sudah lama menetap dan adalah warga Indonesia.
Kebesaran yang dihadirkan ini
seolah-olah pengakuan masyarakat indonesia pada keberadaan orang-orang Tionghoa. Padahal suku
Tionghoa itu adalah produk orde baru. Sejarah pengkotak-kotakan pribumi dan china
merupakan rekayasa yang dimulai pada era kolonial Belanda. Model politisasi pengkaplingan
identitas dari konsep geografis ini
dilanjutkan di era orde baru. Soeharto memanipulasi identitas rakyat indonesia dengan pembentukan taman mini
indonesia indah salah satunya.
Pengkotak-kotakan itu bertujuan
untuk mengidentifikasi, selanjutnya
memudahkan kebijakan. Di era orde
baru, ketionghoan digunakan untuk mengebiri hak keturunan china sebagai warga
negara. Hak mereka untuk mendapatkan keamanan, kedamaian dipotong dengan wacana
kechinaan. Artinya, orde baru ketika itu memanipulasi ketionghoan. Manipulasi
di sini bukan berarti membohongi, tetapi menggunakan seperangkat identitas itu demi kepentingan kuasa. Artinya,
patung-patung, bangunan-bangunan itu
sengaja dipilih menjadi alat untuk
menguasai sekaligus mengontrol kesadaran orang-orang yang melihat.
Pendisiplinan kesadaran ruang tentang
siapa orang-orang indonesia Tionghoa membentuk kesadaran imajinatif tentang siapa saya dan siapa di luar saya. Tentang pengklasifisian
yang saya dan yang di luar saya, yang
bukan bagian saya.
The othering orang-orang
Tionghoa pada masa orde baru berdampak pada kekerasan membabi buta pada
penduduk indonesia ini. The othering inilah yang dimanfaatkan untuk
membentuk saya yang jawa yang secara konsep geografis masuk dalam indonesia dan
Tionghoa yang secara konsep geografis masuk dalam China dan Indonesia. Di sinilah manipulasi memainkan peranannya.
Untuk menjawakan saya atau mencinakan orang lain, tentu saja tak melulu melalui sesuatu yang kita benci, bahkan manipulasi itu juga bisa
lewat penyanjungan melalui dan atas nama suku.
Akhirnya, melalui pembacaan secara struktural terhadap
Taman Budaya Tionghoa Indonesia itu, saya melihat lahirnya identitas ketionghoan di TMII itu berwujud imaji ruang dua negara bangsa yang berbeda
yaitu china dan indonesia. Adanya
pengkaplingan tentang yang Tionghoa dan yang bukan. Adanya imaji tentang diturunkannya, seperti
secara biologis, sebuah kebudayaan. Dalam
hal ini dari kebudayaan China ke penduduk indonesia keturunan China . Dan imaji Tionghoa semacam inilah yang
ditanam, disirami dan buahnya pernah
dipetik orde baru.