Sabtu, 25 Mei 2013

Banjir Cita-Cita


            
            
           
            Nur Izzah Millati

Selalu saja pertanyaan tentang cita-cita itu mengusik kesunyianku. Sederhana bukan, setiap orang bertanya tentang ingin jadi apa dirimu. Bukankah orang hidup untuk yang akan datang. Dalam hal menjawab itulah, selalu kepala dan tubuh  sibuk dengan aneka rutinitas. Kadang gagal, tetapi sering harus memaksa agar tak diam. Hingga setitik cahaya bersinar. Walau setahuku , ada sejuta  hasrat yang akan ditawarkan kala pertanyaan itu disodorkan.

 Aku bukan orang hebat yang menjawab sebuah pertanyaan dengan pernyataan yang tak pernah terlintas dalam benak yang lainnya. Ingat dulu sewaktu kecil, dengan semena-mena kuumumkan pada setiap yang bertanya, aku ingin menjadi Polwan. Di kelas Menengah pertama, saat seorang guru bertanya hal serupa, kusebut semauku, tanpa pikir bisa atau tidak mencapainya “Ingin jadi dokter.” Ketika lulus sekolah menengah keatas, aku mulai sadar jawabanku itu tak berdasar. Dan pertanyaan serupa selalu berulang, “Apa cita-citamu?.”

Toh hingga sekarang hal itu masih tersembunyi entah dimana. Yang sudah tak kucapai. Bahkan cita-cita itu masih menggantung membentuk imaji sendiri. Imaji yang datang dari cerita orang-orang hebat. Dirak-rak toko buku yang paling bergengsi. Dilayar kaca yang sejak kecil menghantui. Sebuah ruang kosong masih kutemui, saat hadir tanya menjelang. Sering kucoba membunuh kalimat itu.  Tapi semakin lama, semakin menyata syetan dalam kitab-kitab suci.  

Pagi ini aku di ruang sama. Banjir tinta sewarna. Hitam  yang  sering membuat mulutku biru kelu.  Meski cuma sepasang mata dengan bulat hitam  kecil dan bulat coklat lebar, lalu keputih-putihan menyebar. Lamat-lamat  aku memperhatikannya. Menatapnya. Sinarnya jauh lebih banyak menyinarkan cahaya. Berbagai warna memancar dari sepasang hitam kelam itu. Menyenangkan dan membahagiakan yang Banyak .  Sebuah mata yang tak kumiliki. Aku menatapnya, tetapi mataku lunglai ke tanah. Lalu sejenis keyakinan yang masih kupegang erat mengingatkanku, menghentikan apa saja yang berputar. Kurapal mantra-mantra tak bertuan. Hanya supaya tidak membelalak atau membanjiri milik sendiri.     

Mata yang sama hitam legam. Bahkan ketika tubuhnya tak ada, mata itu terus menemaniku. Kadang-kadang menentramkan, tapi Sumpah! lebih sering menakutkan. Menjadi hantu yang tiba-tiba datang. Kadang-kadang aku pura-pura merasa kalau mata itu menghilang. Aku melangkah dengan setitik mata lain. Kira-kira 180 derajat dengan cara dia melihat.

 Suatu hari  dengan segala perhitungan. Kalau mata itu tak akan dapat melihatku, jika mata itu tak akan mungkin bisa menyelinap di lubang ini. Ia tak mungkin dapat tahu lubang sekecil ini.  Kumasukkan tubuhku dalam lubang paling kecil dan paling hitam. Di kota ini,  hanya sejumput tubuh yang mau meleburkan tubuhnya ke dalam. Aku yakin, dengan kebenaran tanpa cela, mata itu tak mungkin dapat melihat.  Dalam penuh keyakinan itu, sebelum masuk ke lubang itu, kusimpan mata-mata yang masih menggantung dalam tubuhku. Kutempatkan ia di mall-mall  agar ia tak kesepian atau lupa  tugas mengawasiku.

Bagai seorang bayi yang baru dilahirkan, aku menangis sejadi-jadinya dalam lubang itu. Kuhirup air susu siapapun yang disodorkan ke mulutku. Kuayunkan tubuhku sejadi-jadinya, hingga kepalaku pusing dan tubuhku terkulai.

“Apa yang kau cita-citakan?”                                           
Aku hanya diam. Tetapi mulutnya semakin lebar menganga.
“ Jawablah, apa kau tak ingin sesuatu?”
“ Untuk yang akan datang? Untuk mengantisipasi segala kesedihan? Untuk memastikan terangnya cahaya tubuhmu? Agar ketika kau mati nisanmu dikunjungi banyak orang. Agar ketika seorang pendeta mengenangmu, ia tidak harus berbohong pada jemaatnya. Kau tahu itu kan, sebuah cita-cita yang akan membuatmu selalu hidup. Agar hidupmu tidak berhenti hanya pada satu titik. Supaya semua mata memandangmu dengan mata penuh kekaguman. Oh…tidak…tidak perlu, yang penting hanya satu, hanya sebuah pertanyaan satu saja, agar kau tak sendirian.”

Kutatap matanya dalam-dalam. Kubelai rambutnya yang hitam kelam. Kuelus-elus pipinya yang empuk. Kukulum bibirnya seperti seorang kekasih yang lama tak bersua. Kujilati hidungnya yang tak pernah kupunya. Satu persatu kusesap  keringat diwajahnya. Lalu pelan-pelan kutempelkan mulutku ketelinganya,
“Aku ingin mencongkel sepasang matamu.”