Selasa, 07 Februari 2012


Kutata dan kucipta
mencari setubuh kutu
Memilih yang paling terurai
Inci pertanyaan
masih  kau jawab dengan kebekuan

Jumat, 03 Februari 2012

Aku ingin pelangi
Tetapi awan gelap menyelimuti kerinduanku
Lalu kusesap awan itu dengan aneka doa
Kubiarkan ia memasuki seluruhku
Kubiarkan ia bersemanyam di sana
Di sudut yang mungkin tak kau punya
(Untukmu yang kurindui saja )

Lelaki


Lelaki paling gemuruh di dalam
Rangkaian kata tak terukur yang selalu kau simpan
Rapat menumpuk putih tersucikan  
Berderit lembut irama bambu yang menyejukkan


Inginku  menyusup diam-diam
Bagai bayi  yang mengingini  puting ibunya
Seperti air mata yang hadir dalam kesedihan
Atau tawa meledak di bibir yang bahagia

Lelaki yang menghuncam ke dalam
Jika sekarang jiwaku singgah di labuhmu,
Sudikah  kau merawatnya?
Cukup  lewat hembusan nafas lembutmu di telinganya


Rabu, 01 Februari 2012

Melelehkan Pembeku-bakuan Wacana Partai Komunis Indonesia sebagai Atheis (Sebuah pengalaman Personal)


Saat masih kecil, ibu melarangku menonton film dengan judul “G30S PKI”. Menurut ibu, film itu tak bagus untuk anak-anak. Katanya, film itu banyak mengajarkan kekerasan. Karena itu, ibu selalu menyuruhku tidur sebelum film itu diputar. Hasilnya, meski aku tak menyaksikan film “PKI” secara utuh, tetapi dari cerita-cerita teman yang menonton, saat itu,  aku yakin kalau orang-orang PKI memang penghianat. Mereka membunuh para jenderal dan orang-orang islam.  
Mungkin karena pengaruh lingkungan, saat itu aku  cenderung tidak menanyakan kembali perihal bagaimana orang-orang PKI dilabeli sebagai atheis. Seolah-olah dengan demikian, sebagai orang yang beragama aku harus memusuhi PKI. Bahkan ketika belajar di sebuah pesantren, ada larangan belanja di warung luar gerbang pondok, menurut teman-temanku, karena tidak ada penjelasan eksplisit dari pihak pengasuh, rumorpun beredar kalau  orang-orang di luar pondok itu adalah orang “PKI”. Yang langsung aku asosiasikan sebagai  atheis.
Setelah dewasapun hingga sekarang, aku belum pernah menonton secara utuh film “G30S PKI”. Males  dan sudah tak menarik lagi film itu.  Pemahamanku sekarang tentang PKI lebih  banyak dipengaruhi oleh pembicaraan teman-teman gerakan ketika di S1  serta buku-buku karya intelektual Cultural Studies.
Ketika S1, teman-temanku menjadikan PKI sebagai inspirator mereka sebagai gerakan yang melakukan pendidikan politik di tingkat grassroot, terutama kaum petani dan buruh, dengan sangat masif.  Dalam bergerak mereka menggunakan spirit PKI (Partai Komunis Indonesia) dengan menegaskan bahwa PKI adalah satu-satunya partai dalam sejarah di Indonesia yang memiliki massa jelas. Sehingga dari merekalah aku sedikit tahu tentang Karl Marx dan sedikit tentang partai komunis. Yang intinya, komunis bukanlah atheis.
Membaca karya Takashi Syiraisyi dengan judul zaman bergerak  mengenalkan tentang bagaimana tokoh-tokoh PKI berjuang melawan kesewenang-wenangan raja-raja di Yogya dan Solo yang menjadi antek-antek Belanda. Karya ilmiah ini menceritakan tentang tokoh-tokoh PKI yang taat beragama, misalnya H.Misbach yang dikenal  sebagai tokoh Sarekat Islam yang kemudian menjadi tokoh PKI. Sehingga ia menjadi tokoh islam yang menelaah islam dengan mendalami ayat-ayat sosial dalam al-Quran.
Haji Misbach merupakan representasi dari kelompok islam yang mencairkan  pembeku-bakuaan identitas . Dia bukan hanya islamis tetapi juga komunis. Ia  menyatukan identitas itu dalam dirinya, sekaligus mencairkan kebakuan identitas islam, komunis ataupun nasionalis. Pencairan itu dilakukan melalui tulisan Misbach yang penggalannya berbunyi: “Islam dan komunis itu satu hati, satu rasa, satu visi. Setan adalah kapitalisme” (Takasyi,1997: 393).
Kecairan identitas juga ditunjukkan Marco Kartodikromo. Ia bukan hanya seorang nasionalis, tetapi juga komunis tulen. Sosok ini menggelitik kesadaranku perihal dikotomi selama ini yang telah terhegemoni wacana orde baru dengan mengatakan kalau orang-orang komunis itu musuh nasionalis. Yang hal tersebut terus diproduksi melaluli kurikulum sekolah.
Buku ini setidaknya memberikan gambaran mendetail mengenai bagaimana kesungguhan tokoh-tokoh partai komunis indonesia dalam menggerakkan rakyat. Tujuan mereka tentu tak lain adalah untuk menggulingkan kolonialisme Belanda yang bersekongkol dengan pejabat-pejabat dalam negeri dalam menghisap kekayaan dan tenaga rakyat indonesia.
Masifnya pergerakan PKI mampu mengusik ketenangan kolonial, hingga Belanda sering memenjarakan tokoh-tokoh utama dalam partai tersebut. Meskipun begitu, tokoh-tokoh PKI  tetap memperkokoh partai dan menggalang kekuatan massa untuk bergerak bersama melawan segala bentuk penindasan. Bahkan partai inilah dalam sejarah indonesia yang mampu mengumpulkan buruh dan petani bersatu dan berserikat untuk melawan kesewanangan para raja  melalui aksi dengan demo dan  mogok.
Membaca buku ini, setidaknya menggugah kembali kesadaranku tentang sebuah harapan. Harapan bahwa perubahan kearah lebih baik dapat tercipta melalui partai. Meski hingga sekarang aku masih meragukannya. Partai-partai yang aku kenal dan akulihat, begitupun beberapa teman aktivis yang sekarang melenggang di gedung megah Jakarta, toh masuk ke lubang yang sama. Lubang yang mengajarkan mereka berebutan kue, berteriak dengan tujuan mendapat jatah untuk perut mereka sendiri. 
Kalau membandingkan partai-partai sekarang dengan PKI memang sangat jauh. Hingga penulis buku ini menyatakan bahwa PKIlah satu-satunya partai dalam sejarah indonesia hingga kini, yang mampu menggerakan kekuatan massa dengan ideologi yang jelas.
Selanjutnya, ketika saya mencoba berdialog dengan ibu-ibu yang kutemui di beberapa desa. Mereka masih sama dengan pemahamanku saat kecil bahwa komunis itu atheis dan PKIlah yang bertanggung jawab atas kekerasan G30 S. Dengan menggebu-gebu ibu-ibu yang kutemui itu menceritakan kalau banyak orang-orang islam yang dibunuh PKI. Dengan keyakinan motif pembunuhan itu karena agama. Walhasil, merekapun menyakini kalau PKI itu sama dengan Atheis.
Hingga sekarang akupun sering mendengar teman-teman menceritakan tentang tetangganya yang tidak dapat mengakses pekerjaan di ruang publik hanya karena, konon, nenek moyangnya PKI. Teman saya dari Blitar mengatakan ada tetangganya yang pandai, tamatan ilmu kedokteran di perguruan tinggi negeri ternama. Tetapi ketika ia melamar kerja di rumah sakit negeri,  ada pegawai yang mengetahui identitas ayahnya yang dulu aktif sebagai anggota PKI. Sehingga ia tidak diperbolehkan mengikuti test CPNS.
Ah…masih juga stigmatisasi terhadap PKI itu berkembang hingga sekarang, hmmm…kalau sudah begini jadi  ingat Gus Dur..
Sumber bacaan:  Takashi Syiraishi, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di jawa 1912-1926.  Jakarta: Grafiti, 1997