Sabtu, 21 Januari 2012

Sumbatan tradisi lisan



Banyak ilmuwan yang mengatakan bahwa tradisi kita masih tradisi lisan belum mempunyai tradisi membaca. Kita lebih sering menggunakan bahasa oral dalam menyampaikan atau mendapatkan informasi daripada mendapatkan atau menyampaikan lewat tradisi tulisan. Maksudnya, masih sedikitnya kebiasaan membaca, apalagi menulis di Indonesia. Bahkanpun di kalangan mahasiswa. Tujuan pernyataan ini, yang saya tangkap, adalah sebuah rangsangan untuk menggairahkan diri  berbondong-bondong membaca.

Penafsiran lain dapat diajukan pada pernyataan di atas. Terdapat makna hirearkhis dalam pernyataan itu. Kata masih pada  kalimat itu  dapat ditafsirkan sebagai memandang  lebih rendah terhadap tradisi lisan  daripada tradisi membaca atau menulis. Implikasinya,  tidak begitu diperhatikannya tradisi lisan oleh kalangan ilmuwan. Seolah-olah ingin meloncati atau melewati tradisi tersebut.  Nah, jangan-jangan karena tidak dikembangkan serta tidak dipelajari dengan seksama tradisi lisan kitalah, yang menjadikan tersumbatnya tradisi membaca atau menulis kita. 

Peremehan terhadap tradisi lisan ini semakin diperparah dengan pembatasan-pembatasan abstrak dalam pengetahuan kita tentang pelisanan pengetahuan.  Salah satunya, dapat kita cermati dari  dua pepatah yang sering dipopulerkan di masyarakat kita. yaitu  pepatah  yang berbunyi tong kosong nyaring bunyinya dan silent is gold. Dua pepatah itu  menuduh orang-orang yang berani bersuara atau banyak bertanya sebagai orang yang bodoh atau orang yang tidak berharga. 

Pengenalan lebih intens dua pepatah itu dari pepatah lainnya, entah siapa yang sengaja mempopulerkannya, cenderung berimplikasi  pada  membatasi dan membungkam tradisi lisan kita. Seolah-olah hanya orang-orang yang mengertilah yang dapat  atau boleh berbicara atau ketika orang itu berbicara maka ia harus berbicara dalam kadar tertentu. Seakan-akan ada batasan pengetahuan tertentu yang membolehkan orang-orang untuk berbicara atau tidak.  Diam dipandang pilihan lebih baik daripada berkata-kata.

Kita juga dapat mengamati batasan dalam tradisi lisan ini pada salah satu progam televisi.  Kalau anda masih ingat progam di salah satu stasiun swasta yang diberi tema Asal usul, dalam setiap episode presenternya pada pembukaan atau penutupan acara selalu berkata “Kalau usul jangan asal, kalau asal jangan usul”. Ini berarti pembungkaman orang untuk berbicara sesuai dengan apa yang dipikirkannya. Tidak boleh ada spontanitas dalam mengutarakan usulnya.  Karena ketika orang akan mengeluarkan pendapat, maka ia harus berfikir mendalam dan hati-hati dulu mengenai pendapatnya. Tidak ada perasaan nyaman atau bebas untuk mengeluarkan pendapat yang tiba-tiba terlintas. Sehingga orang-orang yang berpendapat lebih sering mengikuti atau berfikir berdasarkan disiplin ilmunya. Mengeluarkan pendapat yang spontan adalah tabu,memalukan, aneh, tidak boleh. 

Teror ketakutan atau pengebirian untuk berpendapat atau berkata-kata seperti ini juga dapat kita amati ketika terjadi diskusi publik. Bahkan dalam ruang  akademikpun. Misalnya, ketika ada orang-orang yang mengatakan sesuatu yang tidak dapat dipahami audience karena pernyataan itu baru atau pernyataan itu tidak sesuai dengan pendapat audience, dengan serta merta orang-orang langsung menuduh orang itu terlalu serius, tidak pada tempatnya membicarakan hal itu atau tidak sejauh itu topiknya. Bukan mendiskusikan lebih lanjut apa yang dia katakan, tetapi malah meneror mental pemikir itu. 

Menancapnya batasan-batasan abstrak tertentu dalam tradisi lisan itu dalam otak kita, dapat kita cermati pada diri kita sendiri, setidaknya pengalaman saya dan beberapa teman yang saya amati,  adalah sering diamnya ketika kita diajak diskusi di publik. Atau kita lebih sering menunggu atau ingin mendengar orang-orang yang sudah mempelajari dari tulisan mengenai disiplin ilmu yang tengah dibicarakan. Sehingga ketakutan kalau pendapat kita salah, kalau pendapat kita nanti malah ditertawakan atau kalau ternyata kita malah takut dilabeli bodoh lebih besar daripada perasaan nyaman kalau uneg-uneg itu dikatakan. 

Dampak negatif dari penyumbatan-penyumbatan itu adalah tidak terakomodirnya suara-suara lain, pendapat-pendapat yang nyleneh, pemikiran-pemikiran yang selama ini belum terkonseptualisasikan. Sehingga para ahli disiplin ilmu tertentu  tidak mendapatkan apapun dari mereka yang lain atau sebaliknya orang-orang yang tidak mempelajari bidang yang sedang dibicarakan tidak menjadi faham benar dengan apa yang dibicarakan. Malah berputar-putar kebingungan di kepala sendiri. Seperti banyak hantu yang berdiam dalam kepala, sambil berkata, "jangan kau katakan itu, nanti kamu dituduh....".

Fakta-fakta yang saya kemukakan itu hanya sedikit dari sumbatan-sumbatan yang menghalangi lancarnya aliran tradisi lisan kita. Fatalnya, saya masih banyak menjumpai sumbatan itu yang sengaja direproduksi terus menerus dalam ruang-ruang pendidikan formal.

Peremehan terhadap tradisi lisan berdampak pada semakin menebalnya sumbatan tradisi lisan itu. Nah, dalam konteks inilah saya setuju dengan penyataan bahwa tradisi lisanlah yang utama. Karena komunikasi pertama yang dapat dengan mudah dan langsung adalah melalui komunikasi lisan ini. Bukan berarti saya meremehkan komunikasi tulisan. Maksud saya, jika kita memperhatikan dan mengamati lebih mendalam dengan memunguti kerikil-kerikil tajam yang menghambat mulusnya tradisi lisan kita selama ini , mungkin tradisi membaca atau menulis tak lagi menjadi barang mewah di negeri ini.



Rabu, 04 Januari 2012

Pameran "In Between" Karya Kurniadi Widodo



Bagi penikmat foto sepertiku, melihat pameran foto  adalah sebuah hiburan. Dalam arti, foto-foto di pameran memberikan “vitamin” mataku . Karena menurutku, karya visual instan di ruang publik sangat datar,seragam dan seperti tak memiliki niat lain kecuali membangkitkan hasrat memiliki.  Karena itu, aku selalu menyambut  bahagia ketika seoarang teman mengajak  menikmati pameran foto. 
Tetapi hal yang selalu  kutanyakan dan kadang-kadang membosankan adalah pertanyaan berulang, yaitu mengenai pesan apa yang ingin disampaikan seniman melalui karyanya. Mengkritisi estetika karya belum menjadi tradisiku. Kalau mas atau mbak mengharapkan hal itu, maka saranku, jangan meneruskan membaca catatan ini.      
Melihat pameran foto ‘In Between’di Kelas Pagi Yogyakarta, saya menangkap sebuah ironi puitika diri. Seniman menangkap kontrakdiksi pada objek-objek visual yang membentang luas di segala ruang.Objek-objek  itu bercerita  ironi  mengenai harapan manusia untuk membangun ruang yang nyaman untuk ditinggali sekaligus penghancuran harapan itu. Sederhananya, objek-objek visual itu menguak kontradiksi antara imaji yang diharapkan dengan realita ketamakan manusia sendiri.
Salah satu karya Kurniadi Widodo yang menyiratkan makna itu  berupa  pohon-pohon yang gagah perkasa menjulang ke langit yang  telah atau akan dipotong, disamping pohon-pohon itu terdapat alat-alat berat . Hanya bagian atas pohon yang terlihat karena tanah tempat pohon itu tumbuh dipagari seng dengan gambar  tumbuh-tumbuhan kecil, kereta kuda dengan penumpang dan kusirnya dengan background waktu senja.     
Pohon-pohon besar yang gersang dan gundul itu menyiratkan penghancuran alam oleh manusia. Sementara pagar seng dengan gambar tumbuh-tumbuhan kecil menyiratkan ilusi keramahan lingkungan serta kenyamanan.
Problem kerusakan lingkungan serta praktik ketamakan manusia sungguh terlihat dalam karya Widodo ini.   Objek-objek itu semacam perasaan  sinis dan mengejek para manusia. Foto-foto itu seperti sebuah cermin  para manusia mengenai hubungannya dengan bumi.  Satu wajah  berhasrat untuk melumat dan mengubah bumi, sedangkan yang lain merindui serta memimpikannya.
Karya-karya itu mewakili sebuah keresahan dan ketakutan bersama akan rusaknya alam, sekaligus ketidakberdayaan manusia mendisplinkan ketamakannya. Keinginan manusia untuk bersahabat dengan alam, dengan kampanye ramah lingkungan yang selalu digembar-gemborkan, bertabrakan dengan hasrat manusia untuk mengusai dan mengeruk untung sebanyak-banyaknya.