Selasa, 10 Mei 2011

Pikun

Aku melihat orang tua itu begitu semangat. Ia sering hadir dalam seminar-seminar yang biasanya dihadiri generasi muda. Dalam seminar,kalaupun ada orang tua, mereka biasanya adalah para dosen atau ia menjadi pembicara dalam forum. Bagiku, melihat orang tua menjadi peserta diskusi itu seperti oase. Penyemangat ditengah keraguanku akan terciptanya revolusi melalui forum-forum seperti seminar. Dia seperti sebuah matan hadis yang menitahkan manusia agar belajar sepanjang hidup. Sejak lahir hingga ke liang lahat.

Usai seminar lelaki beruban itu berkata, “ Dulu, aku mengajar musik. Aku juga mengambil jurusan berbeda tiap tingkatan. Misalnya, ketika D1 aku mengambil ekonomi, kemudian D2 agrobinis, S1 mengambil matematika, kemudian S2 sekarang, aku belajar budaya. “ Aku belajar lagi agar tak pikun”.

Bayangkan jika kita lupa pada apa yang baru saja kita lakukan. Bisa jadi kita bereaksi tak sesuai dengan realitas. Memalukan. Misalnya kita marah-marah karena kita berfikir belum diberi makan, padahal sudah dua kali makan. Setauku,selama ini kita belajar begitu keras untuk memahami bahasa manusia, agar tak salah dalam menjawab, menerka, tertawa. Agar kita dapat bereaksi sesuai dengan yang diinginkan lawan bicara.

Pikun bagai virus komputer yang mengacak-acak memori kita. Meskipun banyak orang ingin melupakan masa lalunya yang kelam, tetapi kupikir lebih mengerikan hidup dalam pikun. Bagaimana kita lupa kalau yang berdiri di depan kita adalah pasangan hidup kita misalnya. Atau ini yang dialami nenekku, ia sering menyembunyikan kue dengan niat untuk disisakan sewaktu aku pulang sekolah, tetapi seringkali ia lupa di mana meletakkannya. Saat ditemukan kue itu sudah basi.

Karena itu sangat wajar jika bapak tua itu begitu takut dengan pikun. Usia tua memang sangat rentan denga pikun. Kalau tidak diingatkan terus menerus, masa tua hanya akan menjadi hari-hari kelabu yang dipenuhi dengan melawan pikun.
Aku jadi ingat dengan Pramoedya, penulis yang telah meninggal, dalam sebuah seminar di Yogyakarta 2004 yang lalu, dengan penuh semangat ia mengatakan, “bangkitlah anak muda, bangkitlah,bangkitlah”. Pesan itu menunjukkan begitu besar harapannya pada generasi muda.
Mungkin sesungguhnya Pram mengetahui bahwa generasi tua telah pikun. Mereka yang duduk sebagai eksekutif maupun legislatif, mereka yang menjadi menjadi direktur perusahaan sekarang sedang pikun. Pikun kalau dia dipilih untuk mewakili daerah masing-masing. Lupa kalau sebagian buruh, rakyat mereka adalah orang-orang yang masih dimiskinkan. Melupakan kalau mereka punya target waktu dalam menjalankan perintah. Hingga mereka lebih sering berperang pendapat untuk mengisi perut dan mendapatkan fasilitas pribadi, daripada berdebat habis-habisan untuk rakyat. Jangan sampai ketika mereka sadar akan kepikunannya, indonesia sudah membusuk.

Pertanyaan serupa juga aku tanyakan pada diriku sendiri, “Apa sekarang kamu yakin, kamu ndak pikun?”.

Senin, 02 Mei 2011

Malam tubuh...

Kalau mataku bisa berkata, akan kuajarkan dia kalimat pertama, "Bohong kamu" . Jika hidungku bisa bicara, aku rayu dia untuk mengatakan, "Pergi sana..tikus-tikus liar"