Rabu, 19 September 2012


Lahirnya   “Ketionghoaan”   di Taman Mini Indonesia Indah
Kali pertama berkunjung ke Taman mini Indonesia Indah, ada rasa  “hampa” dalam diri saya. Luasnya bangunan itu jauh dari identitas yang saya bayangkan maupun inginkan.    Cairnya identitas  tengah  di kotak-kotakkan. Dipangkas menjadi serpihan-serpihan yang seolah-olah bertujuan menyatukan dengan iklan “menghargai perbedaan”.   
Jika saya cermati, reduksionismelah yang menjadi proyek TMII. Keberagaman  itu disunat  hanya pada beberapa agama, suku serta pengetahuan yang dicap sah oleh negara. Buktinya, tidak ada bangunan ibadah  nenek moyang kita yang terukir di sana.  Tidak ada Kahuripan, Samin, Baduwi, Kejawen, serta sejuta pengetahuan, kepercayaan nenek moyang  kita   di sana. Yang ada adalah agama-agama, suku-suku, pengetahuan-pengetahuan yang dibakukan orde baru serta mungkin masih diamini  aparatur negara   hingga sekarang.  
Satu bukti adanya  keanekaragaman bentukan orde baru ini dapat kita baca dari baru dibangunnya Taman budaya Tionghoa Indonesia. Taman budaya ini baru diresmikan 8 November 2006. Hal ini tak terlepas dari  baru diakuinya eksistensi kebudayaan keturunan China di era Gus Dur.  Jadi,  pembekuan identitas ala rezimlah yang dijadikan ukuran  eksis atau tiada di TMII. Dari  membedah  dilahirkannya Tionghoa TMII inilah saya mengerti tentang manipulasi identitas Tionghoa  ala orde baru.
Memasuki gerbang Taman Budaya Tionghoa Indonesia, berdiri tegak tiang-tiang  kokoh  ala   China. Konon, beton-beton itu diimpor langsung dari Xiamen, salah satu  kota di negeri tirai bambu.  Di tembok gerbang tertera sebuah prasasti yang bertuliskan peresmian taman budaya  oleh Soeharto.  Di halaman memasuki gerbang, terletak tepat di tengah halaman  terpacak tiang  bendera merah putih dengan bendera merah putih di puncaknya.    
Di belakang halaman dalam gerbang, yang ditandai dengan tangga menurun,  berdiri rapi nan indah prasasti   Sampek  Eng Tai,   patung Dewi Kwan Im, monumen Sun Go kong serta  beberapa patung batu  dari negeri China yang saya lupa namanya. 
Paling belakang dari  prasasti-prasasti  itu terdapat  patung Laksamana  Cheng Ho.  Seorang laksamana dari China yang dipercayai sebagai penyebar  agama islam di nusantara. Dengan jubah kebesaran serta tangan yang menunjuk, seperti mengarahkan pasukan, patung Cheng Ho menghadap ke sebuah sungai yang berada di belakang satu atau dua kaki dari monumen Kera Sakti Sun Go kong. Sungai itu juga berfungsi untuk memisahkan prasasti Cheng Ho yang menandai kedatangan orang  China di Indonesia dengan prasasti-prasasti lainnya.
Secara sintagmatik, prasasti-prasasti itu dikelompokkan berdasarkan konsep geografis. Mitos-mitos yang  berasal dari negeri China ditempatkan sebelum patung laksamana Cheng Ho. Berbagai tanda-tanda kebajikan  itu  mengelompok membentuk   konsepsi geografis China.  Sementara sekelompok lukisan bergambar  berbagai kegiatan yang pernah dilakukan laksamana Cheng Ho di Indonesia  serta  gambar tokoh-tokoh indonesia  seperti Soe Hoek Gie , yang diletakkan  tepat di belakang patung laksamana Cheng Ho,   membentuk konsepsi geografis indonesia.
Laksamana Cheng ho yang datang dari China adalah jembatan antara kebudayaan China dan Tionghoa. Sehingga ada keterpisahan nenek moyang kebudayaan antara orang-orang Tionghoa atau keturunan China Indonesia dengan orang Indonesia yang “asli” berdarah indonesia.
Secara paradigmatik, penataan prasasti-prasasti  taman tengah hingga ke patung laksamana Cheng Ho,   bisa dimaknai sebagai adanya sifat temurun pada kebudayaan. Ada bibit asli  China yang membentuk  identitas masyarakat  Tionghoa Indonesia  . Penurunan ini seperti penurunan secara biologis darah yang mengalir dari kakek pada cucunya.  Seakan-akan tidak ada campur tangan budaya  lain yang membauri kebudayaan Tionghoa indonesia. Seolah-olah, patung-patung, bangunan-bangunan itu  mengatakan bahwa bentuk kebudayaan Tionghoa di Indonesia murni berasal dari satu negeri, yaitu China, yang disana, yang bukan indonesia, Malaysia, Amerika, Afrika dan lain sebagainya.
Meski begitu ada tanda-tanda lain yang meringkus mitos-mitos itu  atau yang dapat saya baca sebagai sebentuk kuasa yang memproduksi mitos-mitos itu. Kita dapat membaca kuasa itu dari tanda bertuliskan nama Soeharto serta bendara Indonesia di sana. Maka,jelaslah bahwa  mitos-mitos itu adalah produk  identitas Tionghoa ala orde baru. Mitos-mitos yang diciptakan penguasa otoriter.   Sementara Bendera saya maknai sebagai alat penguasa  untuk memberi label formal, legal, sah. Imaji macam apa yang dikehendaki sang penguasa, yang sah, yang formal, yang legal pada pembentukan Ketionghoaan selanjutnya dapat pula kita baca dengan otak-atik gatuk berikut ini.
Jika kita membandingkan TBTI dengan bangunan-bangunan suku lain seperti suku jawa, padang, manado dan lain-lain, terbaca kegagahan serta kemegahan  taman ini. Kemegahan ini tampak dari besarnya bangunan serta luasnya tanah yang jauh melebihi luasnya ruang suku lain. Konon akan dibangun seluas 4,5 hektar. Hampir menyamai seluruh luas suku-suku lain. Hal ini seragam dengan mitos kechinaan ala orde baru. Yaitu mitos bahwa orang china itu adalah orang-oarng yang berlimpah  kekayaannya yang disimbolkan dengan megah dan luas bangunan ini.
 Penamaan yang berbedapun menunjukkan kesadaran ‘pembedaan’ yang sengaja dihadirkan. Jika suku-suku lain diberi nama anjungan, maka etnis tionghoa diberi nama Taman Budaya.  Ada jarak yang sengaja dibangun antara etnis tionghoa dengan etnis-etnis lainnya di TMII. Penegasan bahwa orang-orang China ini memiliki nenek moyang dari negeri China sana, bukan keturunan China yang sudah lama menetap dan adalah warga Indonesia.   
Kebesaran yang dihadirkan ini seolah-olah pengakuan masyarakat indonesia pada  keberadaan orang-orang Tionghoa. Padahal suku Tionghoa itu adalah produk orde baru. Sejarah pengkotak-kotakan pribumi dan china merupakan rekayasa yang dimulai pada era kolonial Belanda. Model politisasi pengkaplingan identitas dari konsep geografis  ini dilanjutkan di era orde baru. Soeharto memanipulasi  identitas  rakyat indonesia dengan pembentukan taman mini indonesia indah salah satunya. 
Pengkotak-kotakan itu bertujuan untuk mengidentifikasi, selanjutnya  memudahkan kebijakan.  Di era orde baru, ketionghoan digunakan untuk mengebiri hak keturunan china sebagai warga negara. Hak mereka untuk mendapatkan keamanan, kedamaian dipotong dengan wacana kechinaan. Artinya, orde baru ketika itu memanipulasi ketionghoan. Manipulasi di sini bukan berarti membohongi, tetapi menggunakan seperangkat identitas  itu demi kepentingan kuasa. Artinya, patung-patung, bangunan-bangunan  itu sengaja dipilih  menjadi alat untuk menguasai sekaligus mengontrol kesadaran orang-orang yang melihat. Pendisiplinan  kesadaran ruang tentang siapa orang-orang indonesia Tionghoa membentuk kesadaran imajinatif tentang  siapa saya dan siapa di luar saya. Tentang pengklasifisian yang  saya dan yang di luar saya, yang bukan bagian saya.
The othering orang-orang Tionghoa pada masa orde baru berdampak pada kekerasan membabi buta pada penduduk indonesia ini. The othering inilah yang dimanfaatkan untuk membentuk saya yang jawa yang secara konsep geografis masuk dalam indonesia dan Tionghoa yang secara konsep geografis  masuk dalam China dan Indonesia.  Di sinilah manipulasi memainkan peranannya. Untuk menjawakan saya atau mencinakan orang lain, tentu saja  tak melulu melalui  sesuatu yang  kita benci, bahkan manipulasi itu juga bisa lewat penyanjungan melalui dan atas nama suku.
Akhirnya,  melalui pembacaan secara struktural terhadap Taman Budaya Tionghoa Indonesia itu, saya melihat  lahirnya identitas  ketionghoan di TMII  itu berwujud  imaji ruang dua negara bangsa yang berbeda yaitu china dan indonesia.  Adanya pengkaplingan tentang yang Tionghoa dan yang bukan.  Adanya imaji tentang diturunkannya, seperti secara biologis,  sebuah kebudayaan. Dalam hal ini dari kebudayaan China ke penduduk indonesia keturunan China .  Dan imaji Tionghoa semacam inilah yang ditanam, disirami dan buahnya pernah  dipetik  orde baru.










Tidak ada komentar: