Mitos Bencana Merapi
Dahsyatnya letusan gunung merapi
2010 merupakan fakta yang telah kita ketahui bersama. Semua orang dapat melihat
buktinya melalui berbagai media yang berjuta jumlahnya. Tetapi realitas itu tentu dapat dipandang
dari berbagai sudut yang kemudian dibingkai menjadi
realitas buatan, realitas yang sedang dan ingin dibentuk manusia.
Pasca erupsi
itu, sebuah realitas buatan tentang
letusan merapi dari sudut pandang pemerintah nampak mendominasi di setiap wilayah dekat
gunung merapi. Tulisan ini merupakan pembacaan terhadap mitos baru mengenai
gunung merapi yang dihadirkan pemerintah tersebut.
Salah satu cara memahami mitos
yang sedang dibangun pemerintah terpampang lebar-lebar di berbagai sudut wilayah terdekat merapi. Sebuah spanduk besar
dengan tulisan zona berbahaya merapi terlihat di mana-mana. Jika terdapat
spanduk itu, maka wilayah itu masuk sebagai zona merah. Dari sisi pemerintah tanda itu
bermakna bahwa wilayah itu harus steril dari hunian penduduk. Karena
zona tersebut, kata pemerintah, rawan bencana merapi. Hunian yang ada di tempat
itu rawan terkena awan panas merapi yang dapat meluluhlantahkan
bangunan-bangunan rumah warga.
Penetapan mana daerah yang rawan
bencana dan mana yang tidak adalah berdasarkan keputusan BPPT (Badan
Penyelidikan dan pengembangan teknologi kegunungapian). Menurut BPPT terdapat
31 dusun yang dikategorikan sebagai daerah rawan bencana erupsi merapi. Peta
rawan bencana merapi itu dibuat berdasarkan pengamatan dan penyelidikan mereka
terhadap erupsi merapi pada tahun 2010 serta 100 tahun sebelumnya. Nah,
kategorisasi inilah yang melegitimasi langkah pemerintah selanjutnya, yang
diberi nama besar relokasi.
Gambar merapi yang dipilih untuk ditempatkan di
spanduk zona merah itu adalah saat gunung merapi sedang meletus dengan awan
panas. Kemudian bertuliskan zona berbahaya merapi dengan tanda merah. Dari
pemilihan gambar tersebut tampak sebuah pendisiplinan
ingatan pada betapa berbahanya merapi, pengingatan kembali pada letusan gunung
merapi yang telah merenggut nyawa serta sanak saudara orang-orang yang berada
di wilayah tersebut, letusannya telah menghilangkan segala benda serta beberapa
orang yang mereka cintai.
Gambar itu meghilangkan realitas lainnya tentang merapi
yaitu realitas merapi yang telah menyuburkan tanah sekitar sehingga dapat
menyuburkan tanaman, yang biasanya digunakan masyarakat setempat untuk makan
sehari-hari atau untuk pakan ternaknya. Realitas bahwa merapi mengeluarkan
banyak pasir, batu-batu, air bersih yang
telah banyak digunakan penduduk maupun pengusaha. Realitas bahwa lahan di
sekitar merapi lebih subur, lebih sejuk dari daerah lainnya. Dan ini realitas lain yang dinafikan dari
gambar tersebut, bahwa letusan besar merapi 2010, bukan satu-satunya letusan
yang pernah terjadi di gunung merapi. Letusan-letusan lainnya, yang lebih
kecil, yang tidak sampai membahayakan keselamatan warga sudah sering terjadi.
Realitas lain yang mengabaikan
realitas dari sisi pengalaman penduduk adalah bahwa banyak daerah yang
dimasukkan pada zona merah itu, ternyata rumah-rumah itu baik-baik saja saat
erupsi 2010 terjadi. Dari pengamatan saya di desa Sidorejo, Pangukrejo,
Umbulharjo, Cangkringan yang diletakkan sebagai daerah zona merah, Beberapa
rumah penduduk, yang terbuat dari gedek, dari anyaman bambu, yang terdekat
dengan merapi memang ada yang hancur. Tetapi rumah penduduk yang terbuat dari
tembok, nampak berdiri kokoh dan baik-baik saja. Sehingga penduduk dapat
kembali lagi ke rumah mereka tanpa renovasi. Fakta itulah yang mengukuhkan keyakinan
penduduk bahwa kategorisasi yang dibuat pemerintah semu, pseudo- kategori.
Bagi penduduk, gambar itu semacam
pengingat ketakutan terus menerus. Sebuah pengusiran dari tanah kelahiran
mereka. Gambar itu semacam pengingkaran pada penduduk yang menyakini bahwa
daerah mereka bukanlah daerah yang rawan bencana. Usaha pencabutan mereka dari tanah serta para
tetangga yang selama ini telah menjadi tanah air mereka. Pemisahan penduduk
setempat dari tanah kelahiran mereka, dari kehidupan sosial yang selama ini menghidupi dan dihidupi mereka
semua.
Dengan demikian, kategori zona itu adalah sebuah tekhnik memudahkan
pemerintah untuk menguasai tanah-tanah serta mengusir penduduk yang ada di
tempat itu untuk pindah dari tempatnya. Yang membuat kategori semacam itu
sepihak dilakukan pemerintah dengan legitimasi dari ilmuwan-ilmuwan yang
menenggelamkan pengalaman serta pengetahuan penduduk setempat.
Pengetahuan itu kemudian menjadi sebentuk
mitos yang lebih sering mengintimidasi penduduk daripada menenangkan mereka.
Seperti zona bahaya dengan tanda silang merah. Tanda ini seperti sebuah intimidasi
halus, lewat kekerasan simbolik, terhadap penduduk karena diletakkan di tanah
di mana penduduk sudah dan sedang nyaman
menghuni rumah-rumah mereka.
Agar membuat realitas itu semakin
menyata, sesuai dengan agenda pemerintah, pemerintahpun melakukan berbagai
cara. Membujuk penduduk agar mau meninggalkan
tempat tersebut. Penduduk yang semula bersikukuh tidak mau diusir dari tanah
kelahirannya, terus menerus dibujuk dengan menyakinkan bahwa daerah yang
sekarang mereka tinggali adalah daerah rawan bencana merapi, sehingga keyakinan
merekapun tergoyahkan. Bahkan, untuk merealisasikan mitos itu, pemerintah
tak segan-segan menyuruh
utusan-utusannya ke desa-desa dengan mengkampanyekan mitos itu pada penduduk
sebagai satu-satunya kebenaran, yaitu sebuah mitos bahwa daerah mereka
benar-benar rawan bencana merapi. Daerah-daerah itupun dibuat kategorisasi
menjadi tiga daerah rawan bencana merapi I,II,III. Tak cukup di situ, sebuah
organisasi besar yang diberi nama Rekompak telah didirikan untuk memuluskan
proyek “relokasi”.
Representasi merapi sebagai yang
berbahaya ini terus menerus diproduksi sehingga menjadi sesuatu yang
seolah-olah nyata. Sebuah mitos, seperti mitos kecantikan, mitos nyai Roro
kidul, yang menjelma menjadi kekuatan yang menggerakkan mereka yang
mempercayainya, sekaligus melemahkan mereka yang memiliki kepercayaan yang
berbeda. Sehingga bukan hanya penduduk yang mulai disingkirkan dari alam,
tanah serta kehidupan sosial budaya mereka selama ini yang menjadi tumpuan, menjadi tempat membagi kasih,
bahkan telah menjaga alam merapi untuk tidak dieksploitas secara besar-besaran
oleh tangan-tangan besi manusia, tetapi juga kepercayaan orang-orang tentang
merapi mulai distandarkan.
Erupsi gunung merapi 2010, yang
telah menelan korban nyawa ataupun harta memang realitas, tetapi realita itu
sekarang dipolitisir demi memenuhi imaji tentang sebuah taman nasional gunung
merapi (TNGM). Imaji TNGM dapat kita saksikan di beberapa tempat seperti di Kinahrejo,
yang sekarang menjadi tempat taman wisata yang dikelola penduduk, di situ
pemerintah menancapkan baliho bertuliskan kawasan ini masuk dalam TNGM.
Tampaklah, kehendak pemerintah mengusir penduduk dari tanahnya, dengan
memanfaatkan moment bencana erupsi merapi 2010. Lalu, bagaimana dengan masa depan penduduk
sekitar? Nampaknya tidak ada jawaban, selain beberapa bangunan-bangunan kecil
yang lebih layak disebut sebagai kamar dari rumah.
Fakta bahwa warga telah lama
bergelut, bergantung hidup dari keberadaan merapi serta telah menata mimpi di
merapi pelan-pelan mencoba dihilangkan dan digantikan dengan pembeku-bakuan
akan keankeran merapi, akan bencana merapi. Sebuah bencana yang menjadi alat
paling ampuh untuk mengatur warga yang seharusnya dilindungi serta dijamin hak-hak hidupnya oleh
pemerintah.
Disinilah menyata tesis Foucault
mengenai penyebaran kekuasaan yang bersembunyi di balik tembok besar yang
bernama pengetahuan. Pengetahuan sepihak dari para ilmuwan yang tidak
mengakomodir pengalaman penduduk tentu rawan menimbulkan bencana yang lebih
besar dan menakutkan daripada erupsi merapi. Bencana perselingkuhan antara
pengetahuan dan kekuasaan menindas para penduduk. Sehingga di sini sebuah kuasa
tampak sebagai sesuatu yang produktif. Penetapan zona berbahaya itu tak lain
adalah untuk memuluskan proyek taman nasional gunung merapi, yang tentu akan
menghasilkan pengetahuan-pengetahuan tertentu tentang gunung merapi, sekaligus
menggerakkan apa yang disebut sebagai investasi dengan proyek besar yang diberi
nama “relokasi” penduduk, yang sebenarnya
pemilik sah tanah tersebut.
1 komentar:
sip
Posting Komentar